Saturday, November 08, 2008

secret kiss

Jam tanganku menunjukkan pukul sebelas siang. Mataku menyusuri terminal kedatangan Bandara Sukarno Hatta. Hari ini aku ditugaskan ibu untuk menjemput adiknya, Tante Kirana yang datang dari Pekanbaru. Aku baru sampai lima belas menit yang lalu, dan Tante Kirana seharusnya sudah mendarat dari setengah jam yang lalu. Mungkin masih mengurusi bagasi, pikirku.

“Amara!”, aku mendengar namaku dipanggil seseorang, reflek aku mencari sumber suara itu. Tak jauh dari pintu kedatangan, aku melihat Tante Kirana sedang melambaikan tangannya padaku, aku menghampirinya. Setelah aku menyalami tanteku, aku melihat Rae, sepupuku itu masih sedikit kerepotan membawa koper-kopernya. Aku bersalaman dengan Rae. Ia tersenyum dan aku membalasnya ringan.

Perjalanan ke rumahku memakan waktu 45 menit. Selama perjalanan itu, aku dan Tante Kirana asik berbincang-bincang, kadang-kafang Rae juga terlibat dalam pembicaraan kami. Akhirnya, kami sampai juga di rumah. Ibuku sudah menunggu di depan rumah, begitu turun dari mobil ia langsung memeluk Tante Kirana.

*

Urusan bisnis ibu dan Tante Kirana ternyata memakan waktu dua minggu, setiap hari ibu dan Tante Kirana pergi untuk mengurusi bisnis mereka yang katanya sedang membuat kerjasama dengan pihak lain. Aku terkena imbasnya. Ibu menyuruhku menemani Rae berkeliling Jakarta, mumpung sedang liburan, begitu katanya. Aku menyanggupi permintaan ibu, walaupun aku sedikit malas, setidaknya aku tidak mati bosan dalam rumah sambil terjerat mainan-mainan di laptopku.

Siang ini aku mengajak Rae makan di Citos. Tidak terlalu penuh. Tak lama pelayan datang menanyaka pesananku dan Rae, kemudian meninggalkan aku, berdua denga Rae.

“pacar kamu sekarang siapa, Mar?”, katanya menyudahi kecanggungan di antara kami.

“ada kok, temen sekolahku.”, jawabku sambil tersenyum malu karena pertanyaan dari Rae.

“oh, kamu udah nggak sama siapa tuh namanya? Mmm...”

“nggak, aku udah nggak sama Reno lagi.”

“oiya! Reno.”

“kalo kamu sekarang sama siapa, Rae?”

“namanya Anggina, Mar.”, kali ini Rae menjawabnya sambil tersenyum. Senyuman yang sama ketika aku menjemputnya di bandara tempo hari. Senyum yang kembali membuatku merasakan sesuatu.

*

Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya. Bertahun-tahun sebelumnya aku belum pernah secanggung ini apabila dekat Rae. Biasanya aku selalu bercerita banyak hal kepadanya, namun kenapa kali ini aku jadi lebih pendiam. Dan senyumnya, senyuman itu selalu ada dalam kepalaku. Terbayang tak mau hilang. Apa jangan-jangan... ah, aku harus menyingkirkan perasaan itu. Rae sepupuku. Aku tak mungkin jatuh cinta padanya. Dilarang.

*

Hari-hari berikutnya sikapku pada Rae tidak secanggung seperti awal aku kembali bertemu dia. Sekarang aku 80% bersikap normal pada Rae. Rae dan aku mulai saling berbagi cerita tentang kehidupan kami maisng-masing. Mulai dari cerita tentang aku dan pacarku, Alta, sekolahku, hingga kehidupan dia di Pekanbaru, dan cerita cintanya dengan Anggina. Aku tahu ia sangat menyayangi Anggina, menurutnya, rasa sayangku pada Alta masih kalah dengan perasaannya kepada Anggina. Aku hanya tertawa ketika ia bilang hal itu.

Aku dan Rae sangat menikmati liburan kami, tidak seperti ibu-ibu kami yang sibuk dengan urusan bisnisnya, walaupun Tante Kirana masih menyempatkan diri untuk seharian berbelanja di Mangga Dua. Ketika aku bersama Rae, aku merasakan ada rasa aneh yang menyelinap begitu saja. Aku masih mengabaikan rasa itu, tentu saja.

Alta dan aku baik-baik saja. Well, tidak selalu baik-baik saja sih. Aku pernah mengajak Alta untuk ikut menemani Rae berkeliling Jakarta, itu untuk mengurangi rasa cemburunya yang kian hari kian meninggi karena aku harus selalu menemani Rae. Kadang-kadang aku tak habis pikir, mengapa Alta bisa cemburu pada Rae? Mungkin ia hanya cemburu karena liburanku lebih dicurahkan kepada Rae. Huh, Alta memang suka begitu.

Kini sudah seminggu lebih Rae berada di Jakarta. Hari ini ia memutuskan untuk stay di rumah.

“aku capek ah, Mar jalan-jalan terus. Jakarta macet terus sih, panas lagi. Hari ini aku di rumah aja ya.”, begitu jawabnya ketika aku tanya apa dia mau keluar lagi. Aku setuju dengannya, aku memang lelah berkeliling jakarta minggu ini. Apalagi dengan kemacetan Jakarta yang makin parah. Akhirnya, aku memutuskan untuk bermain saja dengan Sergio, laptop ku. Mungkin aku akan menulis cerita, pikirku.

Aku mengambil eskrim yang ada di kulkas dan mulai asyik menulis cerita di laptopku. Aku tenggelam dengan tokoh ceritaku hingga aku tak sadar kalau Rae sudah berada dalam kamarku.

“Ehem”, suara itu mengagetkanku.

“Rae!”

“aku bosan, Mar. Di luar panas lagi. Aku numpang ngadem di kamar kamu ya?”, katanya sambil seenaknya tiduran di kasurku. Tepat di sebelahku. Aku kembali merasa canggung dan aneh, tapi aku berusaha untuk bersikap biasa kepadanya.

“katanya tadi kamu capek dan nggak mau pergi.”, kataku sambil tetap fokus pada tulisanku. Namun percuma.

“ada eskrim kamu kok nggak nawarin aku, Mar? Bagi ya?”, dengan cepat ia menyambar eskrim conello di tanganku. Aku masih saja berusaha tetap fokus dengan tulisanku. Masih sia-sia.

“Amara..?”

“hmm?”, jawabku sambil menoleh ke arahnya.

Dalam hitungan detik aku mersakan ciuman lembut Rae mendarat di bibirku. Oh tuhaaaan! Respon tubuhku mulai tak karuan, degup jantungku terdengar hebat dan rasanya aku hampir pingsan. Lama Rae menciumku, hingga aku merasa aku benar-benar hampir pingsan. Aku melepaskannya, dan duduk terdiam dengan merasakan sensasi aneh pada perutku dan jantungku.

“so sorry, Amara. i.. i.. i just love you.”, kata-katanya mengalir begitu saja dan menusuk hatiku.

Bagaimana bisa ia mengatakan itu?? Well, maybe deep down inside i love him too. Tapi kami ini saudara sepupu. Bagaimana bisa perasaan itu muncul? Aku sudah menahannya, tapi kali ini kubiarkan itu kelua begitu saja.

“mmmh.. me too.”, kataku masih mempertanyakan ucapanku barusan. Apa benar? Apa benar aku juga cinta kepada rae?

“we can’t stand like this.”, kataku lagi.

“im so sorry, Amara”, kata Rae sambil berlalu pergi.

Setelah aku mendengar Rae menutup pintu kamarku, aku terbaring di tempat tidurku, masih dengan rasa tak percaya. Apa rasa itu adalah cinta? That was my first kiss! And i kissed Rae! Pikiranku kini dipenuhi dengan Alta dan Anggina. Maafkan aku Alta.

*

Kini sudah beberapa tahun berlalu semenjak kejadian itu. Hubunganku dengan Rae masih seperti sepupu. Namun, aku lebih tertutup dengannya. Rae mungkin menyadari bahwa itu adalah sebuah tindakan preventif dariku, but we’re still fine. Alta dan aku sudah putus, namun Rae masih pacaran dengan Anngina. He’s right, rasa sayangnya kepada Anggina lebih besar daripada rasa sayangku kepada Alta. Kami sama-sama menjaga hal itu dari Anggina maupun Alta. Aku tidak pernah memberitahukan rahasia ini kepada siapapun, until i wrote it down, here. aku pernah berfikir apa rasanya ciuman Rae waktu itu, and it felt like.. chocolate! Rasa conello. ; p

rainy

Sore ini hujan. Aku melihat semua orang berlari-lari berusaha menghindari hujan yang dianggap bisa membuat pusing kalau kena kepala. Aku sendiri reflek mempercepat langkahku agar sampai di tempat teduh. reflek pula melindungi kepalaku dari hujan yang menyerbu. kenapa ya?

kadang-kadang aku ingin menikmati hujan. berjalan tenang mnerobos cucuran air dari langit. tidak merasa tergesa-gesa sehingga harus berlari-lari mencari tempat teduh. membiarkan diriku basah oleh hujan tanpa harus tanganku refleks melindungi kepalaku. kadang-kadang aku ingin kembali lagi menjadi anak kecil yang tersenyum sangat riang ketika air hujan membasahi tubuhnya. berlari-lari, hanyut dalam iramanya.

kalau dipikir-pikir, asik juga hujan-hujanan bersama kekasih..
tanpa kekasih, dengan teman pun juga asik. tapi siapa yang mau menemaniku sekarang? paling-paling mereka hanya menertawakanku atau bernostalgia sendiri.
mereka bilang aku sudah terlalu tua untuk itu.